Jumat, 10 Mei 2013

Penyimpangan HAM

Pelanggaran Atau Penyimpangan HAM



Kasus Pelecehan Seksual dalam Kendaraan Umum


Pelecehan seksual terhadap kaum perempuan adalah merupakan bagian dari kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan seksual di tempat umum, terutama di angkutan umum, terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kekerasan tersebut meliputi pemerkosaan, percobaan pemerkosaan, pencabulan, perampokan, dan bahkan pembunuhan. Banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di atas angkutan umum. Mulai dari buruknya sistem transportasi umum, lemahnya pengawasan terhadap pemilik dan sopir kendaraan, sikap yang menyalahkan perempuan, sikap korban yang menutup diri, hingga hukuman yang ringan bagi pelaku kekerasan.


Tindakan proteksi bagi perempuan untuk mewaspadai kekerasan seksual di angkutan umum, bisa dilakukan dengan tips sebagai berikut: 

  • Berpakaian sopan dan tidak menggunakan perhiasan berharga yang berlebihan. 
  • Usahakan tidak bepergian sendiri, untuk memperkecil kemungkinan menjadi sasaran/target kejahatan. 
  • Menghindari naik kendaraan umum yang sepi penumpang. 
  • Menghindari melintasi daerah sepi atau rawan kejahatan dan sedapat mungkin menghindari bepergian jauh saat menjelang larut malam. 
  • Tarik perhatian orang sekitar, jangan ragu untuk berteriak agar mengambil perhatian orang sekitar, saat keadaan darurat. 
  • Pindah tempat duduk atau segera turun dari kendaraan, apabila ada tanda-tanda yang mencurigakan dari penumpang atau crew kendaraan. 
  • Setting nomor telepon darurat dalam ponsel, untuk memungkinkan segera menghubungi nomor telepon tertentu hanya dengan sekali tekan. 
  • Untuk keamanan sebaiknya perlu membawa perlengkapan yang bisa digunakan untuk membela diri, seperti pisau lipat, kejutan listrik, pemantik api dan lain sebagainya. 


Kaum perempuan harus selalu hati - hati dan waspada dalam memilih transpotasi umum, agar tidak menjadi korban kejahatan pihak - pihak yang tidak bertanggung jawab.






Pelanggaran Hak Asasi Manusia Pada Kasus Mesuji


Manusia, pada hakikatnya, secara kodrati dinugerahi hak-hak pokok yang sama oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak pokok ini disebut hak asasi manusia (HAM). Hak asasi manusia adalah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Pada gilirannya, hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, di mana hak-hak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.

Umumnya, kita, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam (sebagai akibat dari pola pendidikan ala Barat yang dikembangkan semenjak jaman penjajahan Belanda dan diteruskan di era republik pasca proklamasi kemerdekaan hingga kini) mengenal konsepsi HAM yang berasal dari Barat. Padahal, kalau kita mau bicara jujur serta mengaca pada sejarah, sesungguhnya semenjak Nabi Muhammad S.A.W. memperoleh kenabiannya (abad ke-7 Masehi, atau sekira lima ratus tahun/lima abad sebelum Magna Charta lahir), sudah dikenalkan HAM serta dilaksanakan dan ditegakkannya HAM dalam Islam. Atas dasar ini, tidaklah berlebihan kiranya bila sesungguhnya konsepsi HAM dalam Islam telah lebih dahulu lahir tinimbang konsepsi HAM versi Barat. Bahkan secara formulatif, konsepsi HAM dalam Islam relatif lebih lengkap daripada konsepsi HAM universal.



Hak-hak dasar yang terdapat dalam HAM menurut Islam ialah :

  • Hak Hidup 
  • Hak - Hak Milik 
  • Hak Perlindungan Kehormatan 
  • Hak Keamanan dan Kesucian Kehidupan Pribadi 
  • Hak Keamanan Kemerdekaan Pribadi 
  • Hak Perlindungan dari Hukuman Penjara yang Sewenang-wenang 
  • Hak untuk Memprotes Kelaliman (Tirani) 
  • Hak Kebebasan Ekspresi 
  • Hak Kebebasan Hati Nurani dan Keyakinan 
  • Hak Kebebasan Berserikat 
  • Hak Kebebasan Berpindah 
  • Hak Persamaan Hak dalam Hukum 
  • Hak Mendapatkan Keadilan 
  • Hak Mendapatkan Kebutuhan Dasar Hidup Manusia dan 
  • Hak Mendapatkan Pendidikan. 

Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999).

Salah satu contoh pelanggaran HAM berat yang sekarang ini banyak di bicarakan oleh khalayak umum yaitu dugaan adanya pembantaian di Mesuji Sumatera Selatan. Dari tahun ketahun Mesuji selalu bersimbah darah meski dalam pembukaan UUD 1945 telah diamanatkan bahwa pemerintah negara Indonesia wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam kenyataannya pemerintah belum mampu melindungi tumpah darah Indonesia. Hal ini bisa kita lihat sekurangnya dalam kasus yang menimpa warga Desa Sodong Kec. Mesuji Propinsi Sumatera Selatan, Desa Sritanjung, Kagungan Dalam dan Nipah Kuning Kabupaten Mesuji dan Desa Talang Batu Kab. Mesuji Propinsi Lampung. Warga di ketiga lokasi ini telah menjadi korban perampasan Hak Atas Tanah dan ketidakadilan perlakuan oleh korporasi dan aparat penegak hukum. Bahkan tindakan tak beradab dan keji menimpa warga desa.
Kasus yang mencuat saat ini di Mesuji terdapat tiga kasus, walau sesungguhnya masih ada kasus yang tinggal menunggu bom waktu. Ketiga kasus tersebut, pertama adalah kasus pengelolaan lahan milik adat di areal kawasan Hutan Tanaman Industri Register 45 Way Buaya tepatnya di Talang Pelita Jaya Desa Gunung Batu telah mencuat pada februari 2006 dan puncaknya berujung kematian Made Asta pada 6 Nopember 2010. Kedua, kasus sengketa tanah lahan sawit seluas 1533 ha antara warga Desa Sei Sodong dengan PT. Sumber Wangi Alam yang berakhir dengan tragedi pembantaian terhadap dua orang petani tak bersenjata ditengah kebun sawit pada 21 April 2011. Dan ketiga kasus tanah lahan sawit seluas 17 ribu ha antara warga Desa Sritanjung, Kagungan Dalam dan Nipah kuning dengan PT. Barat Selatan Makmur Investindo yang puncaknya berujung kematian Zaini pada 10 Nopember 2011.

Tindakan biadab dan keji ini tidak pernah oleh negara disebut sebagai pelanggaran HAM Berat. Malah ditengah situasi duka, aparat masih menjalankan upaya kriminalisasi kepada warga yang menjadi korban walau masyarakat sejak awal telah mengadu kepada Polisi dan pemerintah setempat. Demikian pula terhadap Komnas HAM, warga Desa Sritanjung melapor kepada Komnas HAM sejak Baharudin Lopa masih menjabat hingga menjelang satu hari sebelum terjadi penembakan oleh Brimob. Kasus di Desa Sodong telah pula di koordinasikan sejak Mei 2011 kepada Komnas HAM.

Dari ketiga kasus ini kami melihat bahwa pemicu konflik terkait perkebunan sawit adalah karena pihak perkebunan sawit telah merampas dan menguasai tanah warga dalam waktu yang lama mulai 10 – 17 tahun. Dan warga tidak satu rupiah-pun mendapatkan manfaat dari hasil kebun sawit itu.


Tindakan sewenang-wenang perusahaan ini selalu berlindung atas UU perkebunan Nomor 18 tahun 2004. Dimana UU ini telah memberikan legalitas yang sangat kuat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai rakyat. Pasal-pasal dalam UU ini dengan jelas memberikan ruang yang besar kepada perusahaan perkebunan baik swasta maupun pemerintah untuk terus melakukan tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani.

Sedangkan pemicu konflik diareal HTI Reg 45 Way Buaya adalah karena pemerintah telah memperluas luas kawasan hutan dimana sebagian lahan merupakan tanah adat/ulayat. Tuntutan warga Desa Gunung Batu atas lahan seluas 7 ribu ha, hanya dikabulkan 2300 ha untuk kemudian di enclave dari kawasan HTI. Dan ketika warga adat memberikan lahan untuk dikelola kepada warga lokal pihak perusahaan dan aparat telah menstigma pengelola sebagai perambah hutan.


Menjadi pertanyaan besar karena keterlibatan aparat polisi dalam semua kasus justeru bukan untuk meredam konflik melainkan melindungi perusahaan. Jangan heran jika organisasi masyarakat sipil mengkatagorikannya sebagai Centeng Perusahaan. Mengapa demikian karena polisi bukan menjadi pangayom atau sekurangnya hadir disaat ketengangan terjadi, akan tetapi polisi memang telah bermarkas di areal kebun sawit seperti di dapati di PT. BMSI. Kondisi inilah yang telah memperumit situasi. Dan polisi pun dengan mudah memuntahkan peluru kearah masyarakat tanpa mengikuti SOP.

Bukan hanya polisi, pihak Badan Pertanahan juga memiliki andil sangat besar dalam kasus-kasus perkebunan sawit. Seharunya departemen ini ketika akan menerbitkan HGU wajib berpegang kukuh pada prinsip clean dan clear. Tentu harus pula melakukan pengawasan kelokasi terhadap areal HGU. Dan memberikan respon cepat ketika terdapat pengaduan warga, bukan terus sibuk menerbitkan HGU dan mengabaikan sengketa agraria.


Demikian pula Dinas Kehutanan. Seharusnya cepat mencabut izin perusahaan yang dengan terang dan jelas telah menelantarkan lahan dan menyalahgunakan peruntukan lahan. Seperti dilakukan oleh Silva Inhutani. Lahan yang seharusnya ditanami kayu, malah ditanami singkong dan nenas. Semestinya pula lahan-lahan yang diterlantarkan tersebut bisa diserahkan kepada warga untuk dikelola dengan mekanisme hutan desa atau mekanisme lainya sehingga fungsi hutan tetap terjaga dan masyarakat mendapat manfaat.

Berdasarkan advokasi WALHI, WANACALA dan LBH Bandar Lampung pada tahun 2006 terhadap kasus Register 45, Penerimaan laporan dan investigasi kasus di Desa Sodong oleh WALHI, YLBHI, Sawit Watch dan KpSHK pada Juli – Nopember 2011 dan investigasi kasus Desa Sritanjung an Kagungan Dalamm Kabupaten Mesuji pada 11 Nopember 2011kami berkesimpulan bahwa wilayah Mesuji merupakan Ladang Pelanggaran Ham Berat terhadap petani dimana kasus juga terjadi secara beruntun dari tahun ketahun dan telah pula memakan korban jiwa yang cukup besar.

Pemerintah menginginkan penanganan kasus di Mesuji baik di Sumatera Selatan maupun Lampung berlangsung secara menyeluruh dengan membentuk tim yang akan menyampaikan rekomendasi agar tidak terjadi peristiwa serupa,kata Menko Polhukam.

Menko Polhukam Djoko Suyanto dalam keterangan pers di Kantor Presiden Jakarta, Jumat sore mengatakan tim yang dibentuk pemerintah diketuai oleh Wakil Menteri Hukum dan Ham Denny Indrayana diisi oleh perwakilan dari sejumlah pemangku kepentingan, tokoh masyarakat dan juga perwakilan perguruan tinggi.

“Ketua tim Denny Indrayana, melibatkan unsur terkait seperti Komnas HAM, karena Komnas HAM memiliki gambaran yang tepat baik di Mesuji Sumsel dan Mesuji Lampung. Berikutnya adalah kepolisian, miliki data bagaimana penanganan di Mesuji Sumsel, dan Mesuji Lampung, dari Kantor Menko Polhukam juga, dan melibatkan masyarakat dan Pemda Lampung dan Sumsel. Pak Denny juga diberi keleluasaan bila menginginkan ada dari perguruan tinggi,” katanya.

Djoko mengatakan penanganan kasus baik di Mesuji Lampung maupun Mesuji Sumsel akan dibagi dalam dua langkah.


Langkah yang pertama, dilakukan penelaahan dan pemisahan antara peristiwa yang terjadi di Mesuji Lampung dan Mesuji Sumatera Selatan termasuk masing-masing bagaimana kejadiannya, latar belakang permasalahan dan korban serta pelakunya.


Langkah yang kedua adalah proses hukum atas masing-masing kasus sesuai dengan kondisi yang ada.


Sumber :
http://www.slideshare.net/ilyaforever/artikel-pelanggaran-ham

http://babinrohisnakertrans.org/artikel-islam/perspektif-ham-dalam-islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar